Maret 07, 2009

KOTOWAZA dan Manusia

Adakah hubungan peribahasa suatu bangsa terhadap karakter, budaya dan nilai moral mereka? Jawabannya tentu saja ada! Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa kotowaza (peribahasa) yang dimiliki oleh bangsa Jepang yang benar-benar di terapkan dalam keseharian mereka. Beberapa di antaranya mirip dan ada pula yang sama seperti peribahasa Indonesia. Diantaranya:
Saru mo ki kara ochiru (monyet pun bisa jatuh dari pohon).
Kotozawa tersebut di Indonesia dikenal dengan "sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga". Hal yang menarik disini mengapa orang jepang menggunakan kata 'monyet'? (itulah,,, saya juga belum tahu dan sedang saya cari tahu) hehe
MyEm0.com

Dalam Bahasa Jepang kotozawa diatas bermakna, ningen mo machigai wa aru (manusia pun suatu saat bisa melakukan kesalahan) yaa.... karena manusia kan bukan makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan utuh. Aristoteles berkata dalam filosofinya bahwa manusia adalah zoon politicon yang berarti binatang yang berpolitik (hihihi.. kalian manusia bukan?? apa senang jika disamakan dengan binatang??). Maksud mbah Aristoteles disini manusia adalah binatang (bahasanya lebih sadis dari hewan) yaitu karena manusia mempunyai sifat meniru sesuatu. Konon pada awal peradabannya -sampai sekarangpun- manusia selalu meniru perilaku binatang yang dianggap lebih memiliki insting dan indra yang tajam. Namun, karena manusia diciptakan sepaket dengan akal, maka perilaku tersebut dapat dikembangkan.
Tapi saya heran, mengapa semakin kemari manusia semakin meniru sifat binatang??? Manusia mulai menanggalkan rasa malu, mulai sadis menyikut kanan dan kirinya jika dianggap mengganggu ataupun menyaingi dirinya dalam usaha ataupun dalam kehidupan. Lebih parahnya, sebuas-buasnya binatang dia masih mengenali bahkan menyayangi anaknya(kecuali anaconda dan buaya betina yang memakan telur gagal tetas miliknya. Itu pun telur mati yang dimakan!). Bila kita lihat berita di media massa tentang maraknya kasus aborsi, penjualan anak, pencabulan anak kandung maupun anak tiri, dan masih banyak lagi. Apakah mereka masih dapat disebut manusia? Sedangkan manusia disebut manusia karena memiliki hati, akal, dan moral. Lalu jika yang seperti itu akan disebut apa? Mereka memang tetap akan disebut manusia, namun manusia yang tak bermoral, manusia yang kehilangan akal sehat, manusia tak berhati, dan manusia yang telah kalah(bahasa kamusnya pecundang) oleh nafsunya sendiri.
MyEm0.com

3 komentar:

  1. hallo.... numpang comment ya...
    ssebenernya ga usah bingung lagi masalah peribahasa. mengapa orang Jepang menggunakan kata "monyet" bukan tupai. ingat kebudayaan manusia juga dipengaruhi salah satunya dari alam dan lingkungan. Nah, mungkin alam Jepang mempunyai sedikit tupai, sehingga mereka membuat perumpamaan dengan hewan lain yang mempunyai karakter yag hampir sama. hehe ga papa kan ngasih masukan??...

    BalasHapus
  2. ningen mo machigai wa aru (manusia pun suatu saat bisa melakukan kesalahan...
    wah gue banget tuh,,, wue'eee
    ii ne...

    BalasHapus

silahkan tinggalkan komentar anda